Discourse, Discourse Analysis, Context and Cotext
if you want to download this doc please...
Secara etimology, kata discourse berasal dari bahasa Latin “discursus” yang merujuk pada kata conversation atau speech. Crystal (1992:25) mengatakan bahwa discourse is a continuous stretch of (especially spoken) language larger than a sentence, often constituting a coherent unit such as a sermon, argument, joke, or narrative. Atau dengan kata lain, discourse adalah suatu rangkaian bahasa yang berkesinambungan yang lebih besar dari kalimat yang merupakan suatu unit yang koheren seperti khotbah, argumentasi, atau narasi. Jadi kata discourse ini sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dalam cakupan kehidupan manusia.
Ahli bahasa modern pertama yang tertarik mempelajari hubungan-hubungan kalimat dan menamakan aktivitasnya dengan istilah discourse analysis dan kemudian menjadi cabang dari linguistic terapan ini adalah Zellig Harris. Dari sinilah muncul istilah discourse analysis.
Discourse analysis merupakan cabang linguistics terapan yang berkaitan dengan evaluasi terhadap wacana dengan tujuan untuk menemukan pola-pola komunikasi dan hal-hal lain yang terkait dengannya yang tidak bias dijelaskan dengan tata bahasa (Carter, 1993:23). Ada juga yang mengatakan bahwa discourse analysis merupakan suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam suatu komunikasi. Pengertian lainnya adalah bahwa discourse analysis merupkan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tertulis. Dalam hal ini discourse analysis menekankan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks social, khususnya dalam penggunaan bahasa antar penutur dimana bahasa yang digunakan dapat diterima dan dimengerti oleh para penutur meskipun bahasa tersebut tidak dirumuskan sebagaimana kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa yang baku.
Renkema (1993:34) mengatakan bahwa untuk mempertimbangkan apakah satuan bahasa dapat dikatakan sebagai discourse atau bukan dibutuhkan tujuh criteria, yaitu:
- kekohesian, yaitu hubungan yang dihasilkan pada saat interpretasi suatu unsure bergantung pada unsure lainnya di dalam text. Dengan kata lain ini menyangkut hubungan semantic antar unsure di dalam text.
- Kekohesian, yaitu hubungan yang didasar oleh sesuatu yang datangnya dari luar text. Sesuatu tersebut mengacu pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penutur atau petutur.
- Keintensionalan, yang menyangkut tujuan dan fungsi bahasa yang dimiliki partisipan dalam berkomunikasi
- Keberterimaan, yang mengacu pada rangkaian kalimat yang berterima dan dapat dipahami oleh interlocutor (penutur/pembaca) agar dapat dikualifikasikan sebagai text
- Keinformalan, yaitu bahwa suatu text harus memuat informasi-informasi baru dan harus dapat dipahami oleh interlocutor
- Kesituasionalan, yang menyangkut situasi tempat dan waktu text tersebut dihasilkan
- Keintertekstualan, yang mengacu pada keterhubungan suatu wacana dengan wacana lain yang telah diketahui.
Dari ketujuh criteria di atas, criteria paling mendasar dalam discourse adalah kohesi dan koherensi.
Dalam suatu wacana, keberadaan context sangat penting peranannya, karena context dapat mempengaruhi makna kata-kata dalam suatu discourse, baik lisan maupun tulisan. Discourse sebenarnya merupakan perpaduan antara text dan context. Dengan kata lain, suatu text akan dapat disebut sebagai sebuah discourse kalau ada context. Dalam hal ini, para penutur akan memahami suatu text jika mereka juga memahami context yang menyertai text tersebut.
Context dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
- situational context, yaitu pengetahuan penutur yang dilandasi oleh segala sesuatu yang mereka lihat di sekitarnya. Dengan kata lain, keadaan situasi fisik secara visual mengenai tempat interaksi antara penutur dan petutur terjadi.
- background knowledge context, yaitu pengetahuan penutur tentang interlocutor dan juga tentang dunia. Context pengetahuan dasar ini terdiri atas pengetahuan budaya dan pengetahuan interpersonal. jika interlokutor berasal dari kelompok yang sama, mereka akan mengasumsikan pengetahuan yang sama secara normal tentang segala sesuatu yang mereka ketahui. Untuk berbagi konteks pengetahuan interpersonal dibutuhkan interaksi verbal atau pengalaman sebelumnya.
- co-textual context atau yang biasa dikenal dengan cotext, yaitu pengetahuan penutur tentang apa yang telah dituturkannya.
Selain itu Saragih (2006) juga mengklasifikasikan context mejadi dua golongan, yaitu:
- Internal discourse context (cotext), dalam hal ini context linguistic atau context bahasa itu sendiri. Context ini mengacu pada unit linguistic lain yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Context ini berada di dalam dan merupakan bagian dari text yang dibicarakan.
- External discourse context (social context), yaitu context yang mengacu pada sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi social. Konteks ini terdiri atas tiga kategori, yaitu: situational context, cultural context dan ideological context.
Daftar Pustaka
Carter, R. 1993. Introducing applied linguistics. Harlow: Penguin.
Renkema, J. 2004. Introduction to discourse studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing.
Crystal, D. 1992. Introducing linguistics. Harlow: Penguin.
Langganan:
Postingan (Atom)